Micah kini berusia tiga bulan dan hidupku yang semula teratur dengan rapi menjadi jauh lebih berantakan dibandingkan kapan pun. Aku sudah mengira bahwa merawat seorang bayi yang baru lahir akan menjadi sebuah tantangan, tetapi aku tidak pernah membayangkan betapa memakan waktunya tugas ini.
Menyeimbangkan pernikahan dan menjadi seorang ibu dengan menjalankan sebuah rumah tangga, menulis sebuah kolom surat kabar, serta memproduksi sebuah program radio akhir minggu membuatku merayap keluar dari tempat tidur pada tengah malam untuk bekerja atau membersihkan rumah hingga pagi buta. Teman-teman bilang, semua ini nantinya akan terasa semakin mudah. Tetapi aku merasa semakin hari semakin ketinggalan saja.
“Biarkan Michael membantumu,” sarannya, tidak tahu bahwa suamiku sudah mengosongkan tempat sampah dan menyedot karpet untukku.
“Yah, dia melakukan apa yang ia bisa,” keluhku.
“Kalau begitu, biarkan aku membantumu,” Mom menawarkan. “Kau kan bekerja di rumah, jadi aku akan datang dan menjaga Micah di siang hari hingga kau dapat mengejar ketinggalanmu.”
Kedengarannya itu ide yang bagus dan Mom mulai datang setiap siang. Setelah beberapa minggu, masih banyak hal yang berantakan.
“Mengapa aku tidak bisa mengejar ketinggalan, ya?” aku bertanya pada Mom.
“Kau sibuk terus ketika aku di sini,” jawabnya, “Aku tidak mengerti kenapa kau tidak membuat kemajuan.”
Siang itu ketika Micah tidur, Mom berjingkat-jingkat pergi ke dapur. Dia mengosongkan mesin cuci piring, lalu mengisinya kembali dengan piring-piring yang tertumpuk di bak cuci piring.
Setelah melakukan sebuah wawancara lewat telepon, aku keluar dari ruang kerja untuk mengambil segelas teh. Ketika membuka lemari, aku melihat bahwa gelas-gelas di sana tidak berderet sebagaimana biasanya aku mengatur mereka. Aku memindahkan mereka ke tempat yang seharusnya. Ketika menarik laci untuk mengambil sendok gula untuk tehku, aku melihat peralatan makan tidak tersusun rapi maka aku meluruskan mereka.
Setelah mengaduk teh, aku meletakkan sendok di mesin cuci piring dan melihat bekas saos di sebuah piring. Aku mengeluarkan semua piring dan mulai mencucinya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Mom. “Aku sudah membilasnya.”
“Aku tahu, terimakasih, tetapi masih terdapat sisa makanan di salah satu piring ini,” aku menjelaskan.
“Jadi kau mengeluarkan semuanya dari mesin cuci piring dan membilas ulang?” katanya dengan nada tinggi, sambil menaikkan alis.
Aku tersenyum lemah.
Beberapa hari kemudian, Michael memiliki waktu ekstra sebelum bekerja dan mengambil tumpukan cucian dari mesin pengering, melipatnya, dan meninggalkannya di atas sofa. Ketika Mom datang untuk menjaga Micah, dia melihatku melipat ulang setiap barang.
“Mengapa kau melakukan itu?” tanyanya.
“Michael tidak melipatnya seperti caraku,” aku menjelaskan.
“Apa bedanya?” tanya Mom
“Aku ingin ini dilakukan dengan sempurna,” jawabku.
Siang itu, aku kembali dari sebuah pertemuan. Mom dan Micah sedang bermain di atas selembar selimut di ruang duduk.
“Bagaimana kabar gadis kecilku?” Kuangkat Micah dan mulai menciumi wajahnya ketika aku melihat noda susu mengering di bajunya.
“Mom tidak lihat kalau dia meludahkan susu?” aku bertanya.
“Ya. Tapi cuma sedikit dan sudah kulap dengan kain alasnya,” jawab Mom.
“Aku selalu mengganti pakaiannya setiap kali kena air liur atau muntahan susu,” ujarku.
“Dan Sayang, berapa kali sehari kau mengganti pakaiannya?” tanya Mom.
“Empat atau lima,” kataku.
Mom mengernyitkan dahi. Aku tahu dia tidak mengerti.
“Dia amat lucu dan aku hanya ingin dia kelihatan selalu sempurna,” jelasku.
Mom menatapku lekat-lekat.
“Sayang, aku ingin bicara kepadamu mengenai sesuatu,” dia memulai. “Aku sudah mengamatimu dalam beberapa minggu ini dan kurasa aku tahu kenapa kau selalu ketinggalan.”
Kata-katanya mengalun merdu di telingaku. Rupanya dia sudah memecahkan misteri itu. Aku tak sabar mendengar solusinya.
“Kau menginginkan segalanya diselesaikan dengan sempurna.”
“Tentu saja,” jawabku. “Bukankah semua orang juga begitu?”
“Masalahnya bukanlah karena kau memiliki terlalu banyak hal untuk dilakukan, tetapi karena kau menginginkannya dilakukan dengan cara tertentu. Tidak semuanya harus dilakukan dengan sempurna,” katanya. “Kalau begitu kau perlu banyak sekali waktu. Lagi pula jika anak-anak tumbuh dengan orang tua yang mengharapkan kesempurnaan, mereka malahan merasa dikritik.”
Lalu Mom bercerita padaku tentang IBU YANG CUKUP BAIK.
Ibu Yang Cukup Baik meminta putranya untuk membereskan tempat tidurnya. Anak lelaki tersebut berusaha untuk menarik-narik seprai dan selimutnya. Akhirnya selesai, dia merasa amat puas dan berlari untuk memberi tahu ibunya.
Ketika sang ibu masuk ke dalam kamarnya, dia memperhatikan bahwa bantalnya miring dan garis-garis di atas selimut tidak sejajar.
“Menurut Ibu bagaimana?” tanya anak itu.
Sang ibu menepuk kepalanya dan berkata, “Pekerjaan yang baik, Nak.”
“Tapi Ibu, aku tidak bisa menyejajarkan garis-garis itu dengan sempurna,” kata si anak.
“Kau benar, Nak,” katanya. “Memang tidak sempurna, tapi sudah cukup baik, kok.”
Hari berikutnya si anak sedang mewarnai sebuah gambar. Sulit untuknya mewarnai gambar tanpa keluar garis. Dia menunjukkan hasil karyanya kepada Ibu Yang Cukup Baik.
“Bagaimana, Bu?” tanyanya.
Ibu Yang Cukup Baik memandang anjing hijau dan rumput ungu itu. Dia menepuk kepala putranya dan berkata, “Bagus, Nak.”
“Tetapi Ibu, aku tidak dapat mewarnai di dalan garis.”
“Kau benar, Nak. Memang tak sempurna, tapi sudah cukup baik.”
Kemudian ibuku merangkul bahuku.
“Sebagian besar tugas tidak harus dilakukan dengan sempurna. Melakukannya dengan cukup baik berarti sudah cukup baik!” dia berkata sambil tersenyum.
Aku memasuki kantorku. Ketika duduk di atas kursi kerjaku, aku memikirkan cerita itu dan memandangi map-map yang bertumpuk di atas meja. Aku belum meletakkan mereka ke dalam laci karena aku ingin membeli sebuah pembuat label dan belum menemukan barang tersebut dijual selama setahun terakhir.
Beberapa menit kemudian, Mom berjalan memasuki pintu.
“Kau sedang apa?” tanyanya.
“Aku sedang menuliskan judul dari map-map ini dan menyingkirkan mereka,” kataku. “Tadinya aku tidak mau seperti begini, tetapi sekarang aku sadar kalau cara ini cukup baik.”
****
PERHATIAN yang Harus diperhatikan dengan penuh kehati-hatian agar terperhatikan:
Ini tulisan BUKAN karya Riza. Ini diketik ulang, kupipes dari esai berjudul sama yang ditulis Stephanie Welcher Thompson untuk buku Chicken Soup for The New Mom’s Soul terbitan GM, Jakarta 2010.
Ada pesan moral yang kuperoleh pasca membacanya. Pesan yang cukup general. Aku tidak akan mendikte teman-teman dalam hal ini. Jadi, silahkan petik sendiri hikmahnya. Hanya berbagi apa yang kukira layak. Semoga beroleh manfaat yang jamak. Teman, maaf, tapi memang ini ‘sedikit’ panjang
Sumber: http://rekamjejak.multiply
0 komentar:
Posting Komentar